Bondowoso, sinar.co.id,- Di tengah gempuran musik modern dan hiburan digital, sebuah kesenian rakyat di Kabupaten Bondowoso🏷️, Jawa Timur, tetap setia mempertahankan irama khasnya. Namanya Ronjhengan, seni musik tradisional yang syarat nilai kebersamaan, kritik sosial dan kearifan lokal.
Malam itu, di sebuah halaman rumah warga di Desa Pujer, deretan kursi plastik mulai terisi. Di tengah panggung sederhana, beberapa pria paruh baya memegang kentongan kayu, sementara yang lain bersiap dengan gendang dan alat perkusi buatan sendiri.
Lampu bohlam berwarna kuning temaram menggantung di atas panggung, memantulkan bayangan penari yang mulai beraksi. Denting kentongan pun terdengar, disusul teriakan riang penembang yang melantunkan syair berbahasa Madura.
“Tak selamet kaula, tape’ salam kabeh” teriak sang penembang, disambut tawa penonton. Begitulah Ronjhengan sederhana, meriah, dan sarat kehangatan.
Jejak Sejarah Ronjhengan di Bumi Ki Ronggo
Sejarawan lokal menyebut Ronjhengan lahir ratusan tahun silam, dibawa oleh para perantau Madura yang menetap di Bondowoso.
Dimana awalnya, Ronjhengan menjadi hiburan malam bagi petani selepas panen. Mereka berkumpul di balai desa atau halaman rumah untuk menumbuk padi dengan alu dan sambil bernyanyi bersama.
Kata Ronjhengan sendiri berasal dari bahasa Madura ronjheng yang berarti memukul atau mengetuk. Irama ketukannya cepat, berlapis, dan penuh semangat berbeda dari kentongan di daerah lain yang cenderung lambat.
“Dulu Ronjhengan itu sekaligus jadi media informasi. Lewat syair, berita kampung disampaikan, bahkan sindiran buat pejabat juga ada. Jadi bukan cuma hiburan, tapi juga cara masyarakat bicara,” tutur Abdul Ro’is pemerhati budaya Bondowoso.
Syair yang Menggelitik dan Menggugah
Keistimewaan Ronjhengan terletak pada syairnya. Menggunakan bahasa Madura, lirik-liriknya sering kali spontan, memuat cerita lucu, kritik sosial, bahkan kabar politik. Kadang penyanyinya berbalas pantun, menciptakan interaksi hidup dengan penonton.
Misalnya, saat harga pupuk naik, penembang menyelipkan sindiran:
“Pupuk naik lagi, taneman bisa nangis,
pejabat janji manis, petani masih menangis.”
Tak heran, penonton kerap terpingkal-pingkal atau justru mengangguk-angguk setuju.
Tantangan di Era Modern
Memasuki era 1990-an, Ronjhengan mulai jarang tampil. Masuknya hiburan elektronik, televisi, dan musik pop membuat generasi muda tak lagi tertarik. Beberapa kelompok Ronjhengan bubar karena anggotanya menua tanpa penerus.
Namun, dalam lima tahun terakhir, kesenian ini mulai bangkit. Sejumlah komunitas budaya, seperti Sanggar Seni Pujer Lestari dan Paguyuban Ronjhengan Ki Ronggo, aktif menggelar pelatihan bagi remaja desa.
Pemerintah Kabupaten Bondowoso juga memasukkan Ronjhengan dalam agenda Festival Ki Ronggo yang rutin diadakan setiap tahun utamanya dalam peringatan Hari Jadi Bondowoso🏷️ (Harjabo).
“Kami ingin Ronjhengan jadi daya tarik wisata budaya. Bukan cuma tontonan lokal, tapi juga dikenal wisatawan luar,” ujar Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Bondowoso, Mulyadi.
Menyapa Generasi Muda
Untuk merangkul anak muda, beberapa grup Ronjhengan mulai berinovasi. Alat musik tradisional dipadukan dengan gitar listrik dan bass, sementara syair tetap mempertahankan bahasa Madura. Mereka juga mengunggah video pertunjukan ke media sosial, menggaet penonton yang lebih luas.
“Kalau kita tidak ikut zaman, Ronjhengan bisa hilang. Tapi kalau diadaptasi, anak muda akan mau belajar,” kata Kadisparbudpora Bondowoso.
Ronjhengan sebagai Identitas Budaya
Lebih dari sekadar hiburan, Ronjhengan adalah cermin identitas masyarakat Bondowoso. Ia mengajarkan gotong royong, menghidupkan ruang publik, dan menjadi wadah menyuarakan isi hati rakyat.
“Kalau semua sibuk dengan gadget, Ronjhengan mengingatkan bahwa kebersamaan itu penting. Duduk bareng, tertawa bareng, nyanyi bareng. Itu yang bikin kita rindu,” tukas Mulyadi.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi, suara ketukan Ronjhengan kembali menggema di desa-desa Bondowoso. Sebuah tanda bahwa warisan budaya tak akan punah selama ada yang menjaga dan mencintainya.