Scroll untuk membaca artikel
ArtikelSejarah

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

443
×

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

Sebarkan artikel ini
Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

Bondowoso, Sinar.co.id –

Kyai Togo Ambarsari, kemasyhuran nama ulama yang satu ini, memanglah tidak sebesar KH. Hasyim Asyari sebagai pencetus Nahdlatul Ulama.

Ataupun tidak setenar syekh Nawawi Al-Bantani yang diakui keahlian sainsnya.

Akan tetapi, ulama yang satu ini, juga termasuk salah satu putera bangsa yang pantas digugu.

Serta ditiru dan jadi panutan keilmuannya untuk angkatan penerus bangsa ini.

Kyai Togo Ambarsari sendiri adalah ulama besar asal dusun Gerdu Salak, Desa Tangsil Wetan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondososo.

Selain Ki. Ronggo sebagai pembabat Bondowoso, Kyai Togo juga memiliki peran yang tidak kalah penting utamanya dalam dunia pendidikan keagamaan di daerah dengan julukan kota tape.

Sebelumnya, beliau bernama asli Madra’i dan berganti nama Sariman hingga, mendapat nama julukan baru dari gurunnya KH. Hasan Sepuh-Genggong menjadi Togo Ambarsari.

Baca Juga: Babat Bondowoso Hingga ke Jember

Kelahiran dan Prediksi Tahun

Kelahiran Kyai Togo, diperkirakan pada akhir abad ke-18 Masehi.

Prediksi ini bukan tanpa data dimana, salah satunya dari K.H Mudarris yang merupakan teman pondok saat berada di daerah Paciran, Mangaran – Situbondo.

Mbah Mudarris sendiri pada saat wafat di tahun 2008 yang lalu, berusia 125 tahun.

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

Sementara, diprediksi dari Wafatnya Kyai Togo Ambarsari  pada Minggu Pahing tanggal 27 April 1997 M / 19 Dzul Hijjah 1417 H yang berusia 110 tahun.

Mengacu pada pernyataan di atas, Kyai Togo terprediksi lahir sekitar tahun 1885 hingga 1890.

Baca Juga :   Baner Bacapres Amin Ditertibkan, Protes WA Tak Bernama, Dilayangkan ke Satpol PP Bondowoso

Prediksi lain, menghitung jarak kelahiran segenap putera beliau dimana, putera kedelapan beliau lahir pada tahun 1955.

Dengan jarak waktu 4 tahun antara kelahiran putera ke delapan dan putera lainnya.

Baca Juga: Bondowoso Kota Megalitikum

Dengan demikian, masa kelahiran semua puteranya adalah 32 tahun.

Jika dikalkulasi, beliau menjalani rumah tangga sejak tahun 1923 dan pada masa pernikahannya diperkirakan berusia 25 tahun atau lebih karena santri.

Dengan demikian, kyai Togo lahir antara tahun 1895 -1905. Namun, prediksi ini masih membutuhkan penelitian yang lebih mendalam.

Belum akuratnya data ini bisa dimaklumi mengingat, penduduk saat itu, tidak banyak memperhatikan / mencatat tanggal lahirnya karena, keterbatasan prosedural data kependudukan.

Nama Togo Ambarsari

Banyak versi mengenai julukan nama Togo Ambarsari serta, apa maksud julukannya yang hingga saat ini, masih belum merujuk pada kepastian.

Terdapat riwayat yang menyebut jika, nama Togo Ambarsari merupakan pemberian dari Kyai Hasan Genggong dikala beliau sowan bersama dengan mertuanya.

Dikala itu Kyai Hasan mengatakan, “Molaen satiah enyamanah Togo Ambarsari, be’en tonggunah Bendebesah”.

Dimana artinya, mulai saat ini kamu saya beri nama Togo Ambarsari, kamu tonggaknya Bondowoso.

Ada versi lain, nama Togo Ambarsari merupakan julukan tersendiri dari nama tokoh penguasa kerajaan Kettah – Situbondo yakni, pangeran Tugu Gati.

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Bondowoso

Sekali lagi hal ini masih pula memerlukan rujukan data lebih lanjut.

Baca Juga :   Peran Media Hingga Konsekwensi Dalam Motivasi Kampanye Politik 2024

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya

Terlepas dari hal tersebut, sosok karismatik Kyai Togo, yang penuh dengan kesahajaan dan dikenal karomah ini, menjadi tempat pengaduan bagi masyarakat luas khususnya wilayah tapal kuda.

Kyai Togo Ambarsari merupakan al-Allama al-Arifbillah asal Bondowoso yang tidak di ragukan lagi rekam jejak kewaliannya.

Beliau lahir dari pasangan seorang ayah bernama kyai Magidin dan Ibundanya nyai Safinah sekitar abad ke 18 yang lampau.

Dimana kala itu, nyai Safinah tersohor sebagai sosok wanita yang ahli menjalankan tirakat puasa dari ber bulan-bulan hingga tahunan.

Kyai Magidin sendiri, memiliki 4 putra.

  • . pertama, Madra’i (Kyai Togo)
    . kedua, Syafiuddin
    . ketiga, Radiyah dan
    . keempat, Suhdin.

Secara umum, di masyarakat pedesaan nama anak pertama menjadi julukan nama bapaknya.

Oleh karena itu, Magidin pada waktu itu juga akrab disapa Man Madra’i.

Dari garis silsilah ayah, leluhur Kyai Togo berasal dari desa Tegal Mojo.

Konon di sana menjadi nenek moyang masyarakat dengan julukan bujuk lidah dari pulau garam Madura.

Salah satu putera Bujuk Lidah adalah Kyai Sainyo. Sementara Kyai Sainyo sendiri adalah kakek almarhum Kyai Togo Ambarsari.

Dari jalur ibu, kakek kyai Togo adalah H. Sueb yang belakangan terkenal dengan nama Bujuk Renduh.

Dimana, beliau merupakan kepala desa pertama di Tangsel.

Menurut informasi yang diperoleh, Nyai Safinah puteri pertama Sajiyah dimana, Sajiyah sendiri adalah puteri pertama dari Bujuk Reduh.

Baca Juga :   Tombak Tunggul Wulung Penanda Dilepasnya Pawai Budaya Bondowoso

Zuhudnya Kyai Togo

Kyai Togo yang terkenal dengan zuhudnya itu, dikaruniai delapan anak menikah dengan nyai Yahyana.

Adapun diantara puteranya,

Pertama, Asmina (Almarhum).
kedua, Sibayak (Alm).
ketiga, Syafi’i (alm).

keempat, Toha (KH Farisi).
kelima, Hasan (alm, KH Zubair).

keenam, Abdul Halim. (alm).
ketujuh, Muhammad (alm).
kedelapan, Drs. KH. SALWA ARIFIN.

Kyai Togo Ambarsari Biografi dan Muasal Nama Masyhurnya
 
Selain berguru pada kyai Hasan Genggong, menurut Ahlul Bait dan beberapa santri sepuh lainnya,

Kyai Togo kecil juga belajar ilmu ke H. Abdul Gaffar, desa tangsel dan banyak lagi guru lainnya.

Tersohor kyai Togo disebut sebagai ulama yang senang membaca dan bahkan sebagian menyebutnya kutu buku sebelum akhirnya mengambil jalan zuhud.

Setelah bisa mengaji Alquran, beliau memperoleh kesempatan untuk mencari ilmu ke beberapa pesantren.

Konon, setiap tamu yang sowan pada beliau, sama sekali tidak diperkenankan memberikan uang cabisan dengan cara salam tempel.

Namun segenap tamu yang ingin bersodakoh meletakkan uangnya di sela anyaman bambu pagar dinding rumah beliau.

Hingga pada saat kepergian beliau, semua sangat bersedih dan berduka, terutama masyarakat di kota Bondowoso.

Bergemuruh suara tangisan masyarakat Bondowoso di saat mendengar kepergiannya.

Ribuan orang yang secara bergiliran datang untuk membacakan doa sampai ke tempat makam.

Ikuti update berita terbaru di Google News sinar.co.id


You cannot copy content of this page