PASURUAN – Sebagai hasil dari proses historis yang dinamis dari era kerajaan, kolonial, hingga pascakolonial, Kabupaten Pasuruan memiliki karakteristik multikultural, baik dalam hal etnisitas maupun agama. Ragam budaya berbasis etnis Madura, Jawa Arek, Jawa Mataraman, Tengger, Arab, Tionghoa, dan pengaruh Eropa ikut membentuk dinamika budaya di Pasuruan.
Untuk mempertahankan dan memajukan ragam budaya lokal Pasuruan, tentu membutuhkan kerjasama lintas sektoral, antara warga masyarakat, pelaku seni budaya, tokoh agama, dan pemerintah. Untuk itulah, setelah sukses di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten dan Kota Probolinggo, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, menggelar even Galang Gerak Budaya Tapal Kuda (GGBTK) di Desa Gerbo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.
Sebagai kawasan pertanian yang cukup subur, Gerbo memiliki ragam kesenian yang masih berkembang dengan baik, seperti terbang jidor, terbang rudat/laro, pencak silat, syi’iran blug geblug, dan jaranan senterewe. Bahkan, terbang laro dan syi’iran blug geblug masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler di SMP dan SD. Ini menunjukkan bahwa terdapat upaya regenerasi sebagai langkah konkrit dalam pemajuan kebudayaan sebagaimana diamanahkan UU No 5 Tahun 2017.
Untuk menyukseskan GGBTK, 11/11/2023, panitia bersama-sama perangkat desa, kaum muda, dan warga masyarakat bergotong-royong untuk menyiapkan semua pernik-pernik yang dibutuhkan, mulai dari membersihkan lokasi, mencari kelengkapan sesajen, menyiapkan konsumsi untuk peserta dan undangan, mendesain panggung, mencari bahan sesajen, dan kegiatan lainnya. Meskipun modernitas sudah menjadi realitas sehari-hari, warga Gerbo terbukti masih menjalankan gotong-royong sebagai modal sosial untuk menyukseskan hajatan besar ini.
Keseriusan untuk regenerasi ditunjukkan dengan menggelar Festival Blug Geblug pada pagi hari di halaman SD Negeri 1 Gerbo. Syi’iran Blug Geblug merupakan pertunjukan syair berbahasa Madura atau Jawa yang dinyanyikan secara bersama-sama oleh 3-15 orang atau lebih dengan iringan bantal yang dipukul dengan tangan dan tepuk tangan anggotanya. Syair ini berisi pujian, sholawat, dan ajaran-ajaran tentang agama Islam. Istilah Blug Geblug berasal dari bunyi bantal yang dipukul.
Bagi panitia GGBTK Kabupaten Pasuruan, regenerasi Blug Geblug menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mengingat semakin kuatnya pengaruh budaya asing di kalangan anak-anak desa.
Pada malam hari panitia GGBTK menggelar kirab budaya dan pertunjukan multibentuk yang dihadiri warga Gerbo dan sekitarnya. Kirab budaya diikuti oleh ratusan peserta yang terdiri dari para penampil yang akan meramaikan pertunjukan. Kirab ini juga sebagai cara untuk mengajak warga berkumpul di halaman SDN 1 Gerbo guna menikmati sajian aneka kesenian.
Pertunjukan dibuka dengan Syi’iran Blug Geblug yang dipersembahkan oleh jama’ah wanita dari Kecamatan Rembang, Pasuruan. Beberapa wanita memukul pantal, menghasilkan bunyi ritmis “blug” yang menjadi instrumen pertunjukan. Sementara, para wanita yang lain melantunkan syi’iran dalam bahasa Madura dengan tema hari akhir. Mereka menyampaikan bahwa hari akhir adalah kepastian, maka manusia sudah semestinya beribadah dan berbuat kebaikan sebagai bekal untuk menyambutnya.
Pertunjukan berikutnya adalah Terbang Jidor Al Hikmah yang sudah berdisi sejak sejak tahun 1925. Dengan alat musik terbangan dan kendang mereka menyenandungkan puji-pujian kepada Tuhan Sang Pencipta dan menyampaikan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun para pelakunya mayoritas sudah berusia tua, mereka tetap bersemangat untuk menghibur dan mengingatkan lebih dari seribu penonton yang hadir tentang indahnya beragama.
Kemeriahan penonton semakin terasa ketika para mususi Terbang Laro mulai memainkan terbang dan kendang serta melantunkan pepujian kepada Tuhan Sang Khalik. Tidak lama kemudian, dari arah penonton belasan penari remaja, siswa SMP, memasuki arena pertunjukan di halaman SDN 1 Gerbo dengan gerakan-gerakan sederhana tetapi cukup atraktif.
Dengan arena pertunjukan yang dikelilingi penonton, tari Terbang Laro menghadirkan atmosfer kultural yang kental di mana para penampil tidak berjarak dengan penonton. Model ini mengingatkan warga akan permainan anak-anak di masa lalu ketika mereka bermain di halaman rumah di malam bulan purnama.
Disusul kemudian pertunjukan Terbang Laro yang dipersembahkan delapan ibu rumah tangga. Meskipun sudah berkeluarga, kelincahan mereka dalam menari tidak kalah dengan para penari remaja. Dengan mengenakan pakaian ala Melayu, mereka menjagak penonton untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segenap cinta dan kegembiraan.
Titin Wahyu, 42 tahun, ibu rumah tangga yang ikut menari Terbang Laro mengungkapkan kegembiraannya bisa berparisipasi dalam GGBTK.
“Melihat adik-adik remaja berlatih menari, saya dan ibu-ibu yang lain merasa bersemangat dan terpanggil untuk ikut latihan. Dulu kami juga menarikan tari ini, sebagai hiburan dan dakwah. Malam ini, kami benar-benar bahagia karena bisa berpartisipasi dalam even budaya Tapal Kuda,” tuturnya selepas pertunjukan.
Perpaduan apik musik terbang, puji-pujian, dan gerak tari yang dibawakan para remaja dan ibu-ibu rumah tangga menjadikan pertunjukan bermisi dakwah yang mengalir, melampaui dogma. Meyakini kekuasaan Tuhan merupakan inti dalam beragama, tetapi untuk menjalaninya, manusia mesti menemukan cara-cara yang penuh keindahaan. Begitulah pesan yang ingin disampaikan dari pertunjukan Terbang Laro.
Atraksi para pesilat muda dari perguruan Karya Remaja Desa Gerbo merupakan sajian olah raga tradisional yang menjadikan GGBTK semakin lengkap. Para pesilat muda, selain menunjukkan kemahiran mereka dalam memainkan jurus khas, juga memainkan atraksi tarung celurit. Beberapa pesilat dengan senjata celurit saling serang dan menunjukkan kebolehan jurus mereka. Banyak penonton yang menjerit ketika para pesilat saling serang.
Even GGBTK di Gerbo ditutup dengan atraksi Jaranan Senterewe. Para penari laki-laki dan wanita yang mayoritas berusia muda mempersembahkan tari jaranan dengan iringan rancak gamelan. Gerak ritmis tari jaranan dengan musik dinamis membawa energi tersendiri bagi penonton, meskipun hawa dingin dari Bromo semakin terasa.
Kehadiran jaranan ini menunjukkan pengaruh budaya dari kawasan Tulungagung sebagai salah satu pusat perkembangan kesenian ini. Masyarakat Gerbo yang mayoritas bertani bersifat terbuka terhadap kesenian dari luar wilayah yang bisa menghibur mereka di tengah-tengah aktivitas bercocok tanam.
Selain semua rangkaian di atas, sajian kuliner yang dipersiapkan untuk para pelaku, undangan, dan penonton patut diapresiasi. Untuk makan, panitia menyediakan nasi rawon dan aneka lauknya serta nasi jagung. Kehadiran nasi jagung ini menjadi satu penanda untuk mengkampanyekan ketahanan pangan, karena bisa menjadi alternatif dari nasi putih.
Hidangan untuk undangan dan penonton, selain kue yang dibuat masyarakat desa, juga terdapa aneka pala pendem seperti talas mbothe, singkong, kacang tanah, dan ketela rambat serta pisang godok. Ini merupakan bentuk kampanye untuk mengkonsumsi produk makanan dari tanaman pangan di Gerbo dan wilayah lain di Kabupaten Pasuruan, agar tidak bergantung pada makanan yang dibuat dari bahan pangan impor.
Selain itu, aneka tanaman pangan dan sayuran yang dihasilkan dari bumi Gerbo, seperti singkong dan batangnya, pisang, tomat, gubis, jagung, dan yang lain menjadi bahan dekorasi panggung. Ini mengingatkan agar warga masyarakat selalu menghormati bumi dengan tindakan-tindakan baik serta memaksimalkan tanaman pangan yang dihasilkan dari wilayah lokal. Inilah wujud nyata dalam memperjuangkan ketahanan pangan.
Apresiasi khusus patut diberikan kepada warga masyarakat Gerbo yang mampu mendorong kerbelanjutan budaya lokal melalui regenerasi yang sistematis. Dimulai dari memasukkan kesenian seperti Terbang Laro dan Blug Geblug sebagai ekstrakurikuler di SMP dan SD, hingga melaksanakan latihan rutin.
“Masyarakat Gerbo memberikan contoh bagaimana praktik baik dalam kerja-kerja pemajuan kebudayaan. Regenerasi adalah kunci dalam kerja-kerja budaya hari ini dan di masa mendatang. Ragam budaya Tapal Kuda tidak akan bisa berlanjut menjadi rajutan indah tanpa kehadiran anak-anak dan kaum remaja. Saya pikir, Kemendikbudristek, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan perlu menyiapkan formula berbasis praktik baik di masyarakat untuk regenerasi budaya lokal,” ucap Ikwan Setiawan, kurator GGBTK yang juga mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.