Lumajang – Sebagai upaya untuk mengenalkan situs peninggalan leluhur, panitia Galang Gerak Budaya Tapal Kuda (GGBTK) mengajak sekira seratus Gen Z, pelajar SMA dan anggota sanggar seni, menjelajahi Situs Selogending di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Lumajang, 29/10.
GGBTK merupakan even multibentuk yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek bekerjasama dengan pemkab/pemkot di kawasan Tapal Kuda. Even ini bertujuan memajukan ragam budaya kawasan melalui rangkaian acara workshop, jelajah situs, diskusi, kuliah umum, dan pertunjukan.
Dipandu Wira Dharma, panitia GGBTK sekaligus tokoh pemuda Tengger, mereka menyusuri satu demi satu peninggalan berupa lingga batu, dari Tejokusumo, Wadung Prabu, hingga Selogending.
“Kaum muda perlu mendapatkan informasi terkait Selogending agar mereka bisa ikut merawat dan menyebarluaskan informasi situs ini kepada masyarakat luas,” ujar Wira di sela-sela memandu para pelajar.
Setelah mengunjungi situs, para peserta berkumpul di Pendopo untuk berdiskusi bersama Romo Dhukun Tengger Kandangan, Gatot Harjo dan perwakilan Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek.
Diiringi kicauan burung dan segarnya udara di kawasan situs, Romo Dhukun menjabarkan posisi penting Selogending kepada para peserta.
“Selogending ini menurut salah satu peneliti Belanda yang pernah datang ke sini sudah berusia ribuan tahun. Dan, kemungkinan besar masih digunakan sebagai tempat pemujaan atau tempat perguruan oleh para resi di zaman kerajaan Majapahit,” tutur Romo Dhukun.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di Selogending ditemukan banyak peninggalan seperti lingga, umpak, dan, bahkan pecahan porselin bermotif naga yang diduga berasal dari Tiongkok. Itu semua menegaskan di tempat ini pernah terdapat pemukiman yang berhubungan dengan tempat lain di kawasan Bromo dan Semeru.
Artinya, masyarakat Tengger sejatinya sudah ada sejak lama, jauh sebelum zaman kerajaan Singasari, apalagi Majapahit. Menurut cerita turun-temurun dari para leluhur, sejak dulu para dhukun atau sesepuh Tengger sering berkumpul di Selogending untuk melakukan ritual atau berdiskusi.
“Maka, kami di Kandangan terus berusaha untuk menjaga dan merawat Selogending untuk menjaga keterhubungan dengan para leluhur di masa lalu. Itulah mengapa kami sangat senang ketika adik-adik pelajar diajak ke sini untuk belajar bersama-sama,” ujar Romo Dhukun.
Dalam kesempatan ini, Ikwan Setiawan, Koordinator Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan (Pusakajaya) UNEJ yang juga menjadi kurator dalam GGBTK
menyampaikan beberapa masukan kepada para peserta.
Gen Z harus memiliki cara pandang yang cerdas terkait makna dan posisi penting kawasan situs agar tidak terjebak dalam prasangka negatif yang bisa merugikan upaya perawatan.
“Kaum muda sudah semestinya menjadi corong terkait makna-makna positif masih terpeliharanya Selogending. Bahwa di tempat ini bisa jadi pernah berlangsung proses yang bisa jadi berpengetahuan, beragama, dan berkebudayaan yang dilakoni para empu dan murid-muridnya, meskipun masih membutuhkan penelitian lebih lanjut,” jelas Ikwan.
Lebih lanjut, ia berharap tidak ada lagi tindakan dan pikiran destruktif di mana
situs ditempatkan sebagai tempat syirik, hingga dirusak seperti yang berlangsung pasca tragedi berdarah 1965. Benda-benda purbakala seperti lingga, punden, dan umpak adalah bukti penting adanya peradaban unggul, bukan sesuatu yang menyebabkan syirik.
Selain itu, keberadaan pohon-pohon besar yang sampai saat ini masih dipelihara oleh warga Tengger Kandangan atas arahan Romo Dhukun dan perangkat desa merupakan kekayaan ekologis yang luar biasa.
“Nenek moyang kita dulu mengatakan pohon besar dihuni jin sejatinya memiliki maksud agar pohon-pohon itu tidak ditebang karena warga takut. Setelah kita kaji, itu merupakan pengetahuan ekologis karena dengan masih banyaknya pohon
besar, akar-akarnya akan menahan air dan keluar menjadi sumber. Daunya memberikan oksigen yang melimpah. Sementara buahnya bisa dinikmati burung dan binatang lainnya,” papar pria yang juga mengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ ini.
Sementara, Nuryanto, perwakilan Kemendikbudristek menyatakan terima kasih kepada panitia dan peserta. Jelajah ini akan menjadi ingatan bagi kaum muda tentang pentingnya merawat situs dan lingkungan alam.
“Saya bahagia bisa menghadiri kegiatan ini. Semoga akan bisa berlanjut. Kuncinya adalah komunikasi dan kesiapan konsep. Kawan-kawan penggiat budaya bisa berdiskusi untuk mengajukan program melalui fasilitasi dari Kementerian,” ucap Nuryanto.
Pada bagian akhir diskusi, beberapa pengurus sanggar dan siswa berharap agar informasi tentang situs bisa lebih luas dan komprehensif agar memudahkan mereka dalam memahami.
“Tentu kami berharap seluk-beluk Selogending bisa diperjelas. Dampaknya, kalau kami ingin menggarap tarian atau karya seni lain terkait situs ini bisa lebih mudah,” tutur Silvi, salah satu pengelola sanggar.
Romo Dhukun sendiri mengakui bahwa masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait Selogending. Setidaknya, saat ini masih terawat dengan baik. Kalaupun ada keinginan dari pengelola sanggar untuk membuat tari berbasis situs, tentu itu sangat kreatif dan tidak perlu disalahkan.
Apa yang terpenting dari kegiatan ini adalah berkembangnya kesadaran bersama untuk terus merawat keberadaan situs sebagai tempat ritual dan bukti sejarah peradaban tua di Nusantara. Keterlibatan Gen Z merupakan capaian tersendiri karena bisa menjadi modal untuk merangkul mereka dalam kerja-kerja pemajuan kebudayaan yang lebih luas.