Jember, Sinar.co.id,- Ratusan warga Jalan Mawar, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Kota Jember, geruduk Pengadilan Negeri (PN) Jember dalam aksi damai yang berlangsung pada Senin (06/01/2026).
Aksi ini dipimpin oleh warga yang tergabung dalam Kumpulan Perjuangan Tanah Mawar Jember (Kopertama) untuk mendesak hakim PN Jember agar transparan dan obyektif dalam menangani kasus sengketa tanah mereka dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).
Dalam aksi tersebut, warga membawa poster-poster berisi tuntutan mereka dan meneriakkan yel-yel yang menyuarakan perjuangan mereka mempertahankan tanah yang telah ditempati selama puluhan tahun.
Mereka mengajukan empat tuntutan utama:
- Transparansi dalam proses persidangan dan putusan.
- Penilaian obyektif atas bukti dan argumen yang diajukan.
- Perlindungan atas hak-hak warga terkait tanah dan properti mereka.
- Pengadilan diminta menghindari konflik kepentingan dalam kasus tersebut.
Tanah Warisan Belanda yang Diklaim PT KAI
Kasus ini bermula ketika PT KAI mengklaim tanah yang telah ditempati warga sejak zaman kolonial Belanda sebagai miliknya.
Warga menyebut tanah tersebut merupakan tanah warisan Belanda yang telah dihuni oleh mereka secara sah selama lebih dari 50 tahun.
Sebagian besar warga memperoleh tanah tersebut melalui proses jual beli dari penghuni sebelumnya dengan harga yang berlaku pada masa itu.
Namun, PT KAI mengklaim tanah seluas 2,7 hektar tersebut sebagai miliknya dan mulai melakukan penggusuran sepihak sejak 2009.
PT KAI juga memaksa warga menandatangani perjanjian sewa dengan tarif Rp 5 juta per rumah, meskipun warga menolak.
“Ini tanah kami. Kami sudah tinggal di sini sejak zaman Belanda. Kami bahkan sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas nama kami masing-masing sejak tahun 1970. Tapi sekarang tanah ini diklaim oleh PT KAI tanpa dasar yang jelas,” ujar salah satu warga yang mengikuti aksi.
Petisi Warga Kepada Presiden dan Wakil Presiden
Dalam aksi tersebut, warga juga menyerahkan petisi yang ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI. Petisi tersebut mengungkap berbagai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT KAI, termasuk:
- Penggusuran paksa yang dilakukan tanpa dasar hukum.
- Dugaan pencurian dokumen PBB/SPPT milik warga pada Juli 2024.
- Intimidasi terhadap warga yang menolak menyerahkan tanah mereka.
- Perusakan properti dan hilangnya barang-barang milik warga selama penggusuran.
Warga juga mengungkap bahwa, mereka telah berulang kali mengajukan sertifikasi tanah kepada Kementerian ATR/BPN namun, ditolak dengan alasan tanah tersebut milik PT KAI.
Padahal, pengajuan tersebut sesuai dengan Keppres No. 32 Tahun 1979, yang memprioritaskan hak atas tanah kepada masyarakat yang telah mendiaminya.
SHGB PT KAI yang Dipertanyakan Kuasa hukum warga, Agung Silo Widodo Basuki, SH, MH,
Ia mengungkapkan bahwa SHGB yang dimiliki PT KAI diduga diperoleh secara manipulatif.
Agung menjelaskan bahwa, PBB milik warga yang sebelumnya diterbitkan atas nama mereka tiba-tiba diambil alih oleh PT KAI melalui Dinas Bapenda serta Kelurahan Jember Lor dan digunakan untuk mengajukan sertifikasi tanah.
“Dalam hearing dengan DPRD Jember pada Agustus 2020, terungkap bahwa, SHGB PT KAI terbit pada April 2020. Padahal, tanah tersebut jelas-jelas masih ditempati oleh warga,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa SHGB tersebut mencakup sejumlah rumah warga yang telah bersertifikat. Hal ini memperkuat dugaan adanya kejanggalan dalam proses penerbitan sertifikat tanah tersebut.
Tanggapan Pengadilan Negeri Jember
Wakil Ketua PN Jember, Ahmad Bukhori, SH, MH, yang menemui warga, mengaku terkejut dengan fakta yang diungkapkan. Ia berjanji akan mempertimbangkan semua bukti yang diajukan secara obyektif dan memastikan bahwa, proses persidangan berjalan adil.
Sementara itu, Agung berharap PN Jember dapat menjalankan tugasnya dengan baik. “Kami percaya pada integritas PN Jember. Warga hanya ingin keadilan, tidak lebih,” ujarnya.
Harapan Warga
Warga Jalan Mawar, kini berharap perjuangan mereka mendapatkan perhatian dari pemerintah dan pengadilan. Mereka meminta agar hak mereka atas tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun diakui secara hukum.
“Kami hanya rakyat kecil yang ingin hidup tenang di rumah kami sendiri. Kami tidak mencari masalah, kami hanya ingin keadilan,” ujar salah seorang warga dengan nada penuh harap.
Kasus ini menjadi sorotan publik, dan banyak pihak berharap agar proses hukum dapat berlangsung secara transparan, adil, dan obyektif demi menjaga hak-hak warga yang selama ini merasa terdzolimi.