Scroll untuk membaca artikel
Tradisional

Memaknai “Kesetiaan” Watangan Melalui Ritual dalam Galang Gerak Budaya Tapal Kuda

150
×

Memaknai “Kesetiaan” Watangan Melalui Ritual dalam Galang Gerak Budaya Tapal Kuda

Sebarkan artikel ini
Memaknai “Kesetiaan” Watangan Melalui Ritual dalam Galang Gerak Budaya Tapal Kuda

JEMBER – Gunung Watangan bukan hanya sebuah bukit yang membentang luas di selatan Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, dan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia.

Watangan adalah cerita tentang kontribusi penting wilayah perbukitan bagi kehidupan manusia, sejak era purba puluhan ribu tahun lalu hingga era peradaban digital saat ini.

Memaknai “Kesetiaan” Watangan Melalui Ritual dalam Galang Gerak Budaya Tapal Kuda

Watangan adalah benteng alam yang melindungi warga Lojejer dan desa-desa lain di Wuluhan dari angin laut dan potensi tsunami dari Samudra Indonesia.

Selain itu, hutan di Watangan menjadi tumpuhan warga desa untuk mencari pakan ternak dan kayu bakar.

Bahkan, para petani sering mengambil kotoran kelelawar di dalam gua untuk digunakan sebagai pupuk organik ketika harga pupuk kimia mahal dan sulit didapatkan.

Kesuburan tanah pertanian di kawasan Watangan takterbantahkan lagi. Bermacam tanaman seperti padi, jagung, tembakau, lombok, sayuran, singkong, dan yang lain menjadi komoditas pertanian warga.

Itulah mengapa, sejak tahun 2022, Pemerintah Desa Lojejer bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jember (Dekaje) dan Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan (Pusakajaya) UNEJ menggelar even multibentuk Krida Sinatria Bhumi Watangan.

Even ini merupakan wujud syukur warga Lojejer kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia berupa kawasan Watangan serta komitmen untuk terus merawat benteng alam ini.

Untuk tahun ini, Krida Sinatria Bhumi Watangan menjadi bagian dari even multibentuk Galang Gerak Budaya Tapal Kuda yang diselenggarakan secara serentak oleh Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di sembilan kabupaten dan kota.

Baca Juga :   FESTIVAL BLUG GEBLUG, REGENERASI BUDAYA LOKAL BERDIMENSI DAKWAH

Di Lojejer, kegiatan multibentuk seperti ritual, jelajah gua, pertunjukan teater purba, grebeg hasil pertanian, dan pertunjukan seni yang melibatkan para seniman rakyat, sanggar seni, karang taruna, guru, fotografer, kreator konten, dan warga desa diselenggarakan secara gotong royong dan penuh suka cita.

Ritual Slametan Bhumi dilaksanakan di Makam Mbah Bedug, 15/11/23. Ritual yang dihadiri sesepuh desa, seniman rakyat, tokoh agama, dan warga desa ini dimaksudkan sebagai “pamitan” atau memohon izin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta para utusan-Nya yang menjaga kawasan Watangan.

Slametan ini menegaskan bahwa para pelaku budaya harus memanjatkan doa agar kegiatan bisa berjalan lancar serta dihindarkan dari hal-hal yang buruk.

Selain itu, ritual juga berfungsi untuk membangun relasi harmoni dengan alam, agar manusia selalu ingat akan kebaikan alam sehingga tidak merusaknya.

Grebeg Bhumi Watangan, 17/11/23, mempersembahkan arak-arakan gunungan hasil pertanian warga yang mengambil titik berangkat dari Lapangan Desa Lojejer menuju Balai Desa Lojejer.

Ratusan peserta grebeg yang terdiri dari perangkat desa, guru, penari sanggar, dan warga masyarakat dipimpin langsung oleh Kepala Desa beserta istri.

“Grebeg ini merupakan bentuk syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Baik, karena menganugerahkan bumi Watangan yang sangat subur sehingga, dari era nenek moyang sampai dengan hari ini, warga Lojejer dan Wuluhan tetap hidup tanpa kekurangan.

Baca Juga :   Eksistensi Car Free Night Kampung Kopi Pelita Up To Date Minggu ke 6

Maka, sudah semestinya kita terus  mempertahankan Gunung Watangan agar terus memberikan kebaikan, termasuk buat anak cucu,” tutur Mohamad Sholeh, Kades Lojejer dalam sambutannya sebelum memberangkatkan kirab grebeg.

Selain para perangkat desa, dalam kirab juga turut serta para penari sanggar dan para guru PAUD-TK yang berpakaian adat.

Mereka menyimbolkan para “Dewi Watangan” yang turun menyapa warga masyarakat.

Warga desa yang berjajar di pinggir jalan cukup antusias menyambut iring-iringan para dewi tersebut.

Menurut Ikwan Setiawan, Koordinator Pusakajaya UNEJ, kehadiran para dewi secara simbolis menyampaikan makna bahwa kesuburan, kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan akan terus mengalir sebagai wujud “kesetiaan” Watangan ketika warga terus menjaga ekosistemnya.

“Namun, ketika warga sudah acuh tak acuh atau membiarkan orang-orang rakus merusaknya atas nama pertambangan, misalnya, maka Watangan tentu tidak akan mempertahankan ‘kesetiaannya’ lagi.

Saat wujud Watangan hancur dan hilang karena ditambang, ancaman tsunami dari Samudra Indonesia semakin nyata.

Inilah pentingnya melakukan kegiatan kultural untuk mengajak warga terus menjaga Watangan,” ujarnya di sela-sela menonton kirab bersama warga.

Sesampai di depan Balai Desa Lojejer, setelah didoakan oleh beberapa tokoh agama, gunungan hasil pertanian menjadi rebutan para warga. Tidak sampai setengah jam, gunungan tersebut tinggal menyisakan kerangka kayu.

Antusiasme warga untuk mendapatkan aneka sayur dan hasil pertanian tidak harus dibaca sebagai bentuk syirik.

Baca Juga :   Inilah Cerita Asparta Buka Puasa Bersama di Mushola Al-Kholas Wirowongso Ajung, Merayakan Keberkahan Bulan Ramadhan 1445 H

Alih-alih, itu merupakan upaya mereka untuk mensyukuri semua karunia Tuhan dan mengharapkan kebaikan dari hasil pertanian yang sudah didoakan oleh tokoh agama.

Selain itu, apresiasi warga terhadap hasil pertanian dari kawasan Watangan menghadirkan makna tentang pentingnya usaha-usaha strategis untuk menjaga kedaulatan pangan.

Ragam tanaman pangan harus dipertahankan, agar warga masyarakat tidak bergantung sepenuhnya kepada padi.

Meskipun tanaman padi tumbuh subur di Lojejer dan sekitarnya, ragam pilihan bahan pangan seperti singkong, ubi jalar, ubi rambat, cakul (sorgum), dan yang lain harus terus diusahakan agar ketika terjadi krisis beras warga bisa bertahan.

Dari kegiatan slametan dan grebeg di Lojejer, setidaknya, kita bisa menangkap pesan kultural berdimensi ekologis yang perlu terus-menerus digaungkan, bahwa menghormati “kesetiaan” alam bisa dilakukan melalui tafsir dan karya kreatif.

Menciptakan ritual baru berbasis tradisi yang sudah ada sebelumnya merupakan wujud tafsir dan karya kreatif yang berusaha menyentuh aspek emosional warga masyarakat.

Keterlibatan para penari sanggar dan para guru PAUD-TK diharapkan bisa melipatgandakan kesadaran kreatif dalam wujud-wujud karya kultural yang lebih baru dan menarik.

Harapannya, kegiatan kultural untuk kepentingan rawat lingkungan alam akan terus berlangsung serta mampu mengajak generasi Z dan anak-anak, sehingga akan terus dampak positif bagi keberlanjutan hidup warga.

Ikuti update berita terbaru di Google News sinar.co.id


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page