sinar.co.id,- Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo menyisakan duka mendalam. Namun di balik kesedihan itu, muncul suara-suara yang lebih menyakitkan daripada reruntuhan bangunannya: komentar sinis yang merendahkan pesantren.
“Kenapa pesantren dibantu negara?” “Itu urusan agama, bukan tanggung jawab APBN!”. Sebagai seorang santri, saya membaca komentar semacam itu dengan getir.
Bukan karena marah semata, tapi karena sedih melihat betapa sebagian dari kita mulai lupa pada akar sejarah bangsa sendiri.
Lupa bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan penjaga moral, kebudayaan, dan nasionalisme Indonesia sejak sebelum republik ini lahir.
Jauh sebelum hadirnya sekolah-sekolah modern, pesantren telah menjadi ruang belajar rakyat. Dari serambi masjid dan pondok-pondok sederhana, para kiai mendidik generasi bangsa agar pandai membaca, berpikir, dan beriman.
Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga kemandirian, disiplin, dan kepedulian sosial.
Menurut data Kementerian Agama tahun 2025, terdapat lebih dari 42.000 pesantren aktif di Indonesia dengan jutaan santri yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Namun di tengah kiprah sebesar itu, sebagian orang masih memandang pesantren sebagai lembaga “tradisional”, “kurang modern”, bahkan “tidak efisien”.
Pandangan seperti itu jelas keliru. Justru di pesantrenlah nilai-nilai luhur bangsa, kerja keras, kesetaraan, keikhlasan dipraktikkan setiap hari, tanpa pamrih dan tanpa subsidi besar.
Ketika kita bicara kemerdekaan, kita tidak bisa menafikan peran pesantren. Dari pesantren Tebuireng, Lirboyo, Sidogiri, Sukorejo, hingga Genggong, lahir para ulama yang menanamkan cinta tanah air sebagai bagian dari iman.
KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, KH. Moh. Hasa Genggong, KH. As’ad Syamsul Arifin di Situbondo, KH. Achmad Siddiq di Jember, semuanya adalah figur pesantren yang menyalakan semangat kebangsaan. Mereka mengajarkan bahwa membela tanah air adalah bagian dari jihad.
Puncaknya terjadi pada 22 Oktober 1945, ketika para kiai mengeluarkan Resolusi Jihad. Dari pesantren, seruan jihad fi sabilillah bergema, mendorong rakyat melawan penjajah.
Dari mimbar pesantrenlah semangat “Hubbul Wathan Minal Iman” (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman) menjelma menjadi aksi nyata.
Ketika pemerintah berencana membangun kembali pesantren dengan dana APBN, muncul tudingan bahwa itu bentuk “keistimewaan agama tertentu”. Tudingan seperti itu tidak hanya salah kaprah, tetapi juga menunjukkan amnesia sejarah nasional.
Bantuan kepada pesantren bukanlah bentuk keberpihakan sektarian, tetapi pengakuan negara terhadap peran historis pesantren.
Negara punya tanggung jawab moral untuk menjaga lembaga yang telah menjaga moral bangsa selama ratusan tahun.
Pesantren tidak pernah meminta istimewa. Ia berdiri di atas swadaya masyarakat, hidup dengan gotong royong, dan terus berkhidmat untuk umat dan negara. Jika sekarang negara membantu memperkuatnya, itu bukan kemurahan hati itu kewajiban
Alumni Pondok Pesantren
Sebagai alumni Pondok Pesantren, saya merasakan langsung bagaimana nasionalisme diajarkan di tengah kesederhanaan. Kami belajar bahwa merah putih tidak bertentangan dengan kalimat La ilaha illallah. Bahwa mencintai tanah air adalah bentuk syukur kepada Allah.
Di pondok, kami belajar hidup bersama tanpa sekat sosial. Anak petani, nelayan, pegawai, semua setara. Kami bangun pagi untuk salat berjamaah, membersihkan lingkungan, menimba ilmu, lalu tidur kembali dengan hati tenang. Di situlah nilai-nilai kebangsaan tumbuh: disiplin, gotong royong, kesetiaan, dan tanggung jawab.
Pesantren tidak tinggal diam menghadapi perubahan zaman. Kini banyak pesantren mengembangkan program santripreneur, literasi digital, pertanian organik, hingga teknologi informasi. Santri hari ini bukan hanya menguasai kitab kuning, tapi juga mampu bersaing di ruang publik modern.
Namun di tengah arus globalisasi yang mengguncang moral masyarakat, pesantren tetap menjadi oasis nilai. Ketika kejujuran semakin langka, pesantren masih menanamkannya.
Ketika dunia sibuk mengejar materi, pesantren masih menumbuhkan keikhlasan. Ketika bangsa butuh arah moral, pesantren selalu siap menjadi kompas.
Tragedi Al-Khoziny seharusnya tidak dijadikan alasan untuk merendahkan pesantren, melainkan momentum untuk memperbaiki dan memperkuat lembaga pendidikan keagamaan yang telah berjasa besar bagi bangsa ini.
Membangun kembali pesantren bukan sekadar memperbaiki dinding dan atap, tapi membangun kembali penghargaan terhadap nilai-nilai luhur yang lahir dari rahimnya.
Pesantren telah memberi sebelum diminta, berjuang sebelum diakui, dan mengabdi tanpa pamrih. Jika hari ini sebagian orang merendahkannya, maka sesungguhnya mereka sedang merendahkan akar bangsa sendiri.
Selama masih ada santri yang mengaji di bawah cahaya redup, selama masih ada kiai yang mengajar dengan sabar, selama itu pula Indonesia akan tetap memiliki cahaya dari pesantren yang tak pernah padam. Wallahu a’lam.
Oleh: Alumni Santri Milenial