Scroll untuk membaca artikel
Opini

Gelombang Populisme dan Sempitnya Demokrasi: Refleksi atas Dinamika Politik Kontemporer

Redaksi
290
×

Gelombang Populisme dan Sempitnya Demokrasi: Refleksi atas Dinamika Politik Kontemporer

Sebarkan artikel ini
populisme

Dalam dekade terakhir, dunia menyaksikan bangkitnya populisme yang menjelma sebagai kekuatan politik global.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara Barat dengan figur seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, atau kim jong un di Korea Utara, tetapi juga tampak nyata di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Populisme muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan publik terhadap elit politik, ketidakadilan ekonomi, serta jarak yang semakin melebar antara negara dan rakyat.

Secara teoretis, populisme mengklaim dirinya sebagai representasi “suara rakyat”. Akan tetapi, praktiknya kerap mereduksi kompleksitas masyarakat dengan dikotomi sederhana: rakyat versus elit.

Model politik semacam ini berbahaya karena meniadakan keberagaman aspirasi, mengikis mekanisme _check and balance_, dan menciptakan konsentrasi kekuasaan pada figur tertentu.

Demokrasi yang idealnya berlandaskan deliberasi, keterbukaan, serta penghormatan terhadap pluralitas, justru terjebak dalam logika mayoritarianisme yang dangkal.

Baca Juga :   Dukung Najwah, Putri Bondowoso Dalam Finalis Duta Penggerak Literasi 2025

Di Indonesia, kita bisa melihat bahwa gelombang populisme hadir melalui narasi yang memobilisasi emosi publik ketimbang argumentasi rasional.

Politik berbasis simbol, identitas agama atau etnis, dan jargon kesejahteraan rakyat sering kali menutupi persoalan struktural yang lebih mendasar, seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, dan lemahnya institusi hukum.

Dalam konteks ini, populisme memang memberi ruang ekspresi bagi keresahan rakyat, namun sekaligus menyempitkan demokrasi dengan cara menyingkirkan perbedaan pandangan sebagai sesuatu yang “tidak autentik” atau “anti-rakyat”.

Jika dilihat dari dinamika hari ini, populisme di Indonesia tidak hanya muncul dari oposisi, tetapi juga dari pemerintah yang sedang berkuasa. Retorika populis digunakan untuk memperkuat legitimasi, sementara ruang oposisi dilemahkan. Hal ini mengakibatkan demokrasi kehilangan fungsi utamanya sebagai sistem _checks and balances.

Populisme Kesimpulan

Pada akhirnya, hemat saya, populisme akhir-akhir ini di Indonesia digunakan oleh hampir semua aktor politik:
• Oleh Elit berkuasa → digunakan untuk menjaga legitimasi.
• Oleh Oposisi → digunakan untuk menyerang pemerintah.
• Oleh Mahasiswa & gerakan sipil → digunakan untuk melawan oligarki dan memperluas ruang perlawanan.
• Media sosial → sebagai arena utama populisme digital.

Baca Juga :   Calon Ketua Kopri Sebut Jatim Dalam Krisis Ekologis 

Populisme menjadi “bahasa politik bersama”, tetapi justru membuat demokrasi cenderung emosional, instan, dan dangkal.

Lebih jauh, Situasi hari ini menunjukkan bahwa demokrasi di republik ini bergerak ke arah yang lebih sempit. Polarisasi politik semakin tajam, perbedaan pendapat sering dianggap ancaman, dan ruang sipil kerap dikendalikan dengan regulasi yang membatasi, represifitas penegak hukum kian membabibuta, demokrasi Indonesia juga kini menghadapi tantangan digitalisasi politik. Media sosial yang semula diharapkan menjadi ruang publik baru bagi partisipasi demokratis, tetapi justru menjadi arena baru mobilisasi politik populis, memproduksi banjir disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian, serta penguatan politik identitas yang eksklusif.

Baca Juga :   PDAM Bondowoso Tidak Merugi, Samsul Hadi: Itu Hanya Alibi Tutupi Kesalahan

Jika fenomena ini terus dibiarkan, demokrasi berisiko mengalami kemunduran _(democratic backsliding)_.Demokrasi akan kehilangan substansinya dan hanya menjadi ritual prosedural pemilu, tanpa disertai dengan nilai-nilai partisipasi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Oleh karena itu, yang diperlukan hari ini adalah revitalisasi demokrasi dengan menekankan kembali pentingnya pendidikan politik, penguatan institusi, transparansi kinerja institusi pemerintahan, serta perluasan ruang publik yang sehat. Demokrasi harus mampu mengakomodasi aspirasi rakyat tanpa terjebak dalam simplifikasi populis. Dengan cara ini, demokrasi dapat kembali menjadi sistem politik yang tidak hanya memberi ruang pada mayoritas, tetapi juga melindungi minoritas serta menjamin keberlangsungan kehidupan bernegara yang adil dan inklusif.

 

Oleh : Kholisatul Hasanah (Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Timur)

tiktok.com/@sinar.co.id

 

Ikuti juga update berita terbaru sinar.co.id di Google News

Bergabung di saluran berita sinar.co.id di saluran WhatsApp