Surabaya, sinar.co.id,- Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) PKC PMII Jawa Timur menyampaikan pernyataan sikap resmi sehubungan dengan viralnya video dakwah yang menampilkan Gus Elham bersama seorang anak.
Dalam pernyataan tersebut, PKC KOPRI Jawa Timur, mengungkapkan rasa kecewa mendalam dan mengecam keras tindakan tersebut yang diduga mengandung praktik child grooming dan melanggar hak-anak serta etika publik keagamaan.
“Saya merasa sangat prihatin bahwa ruang dakwah yang seharusnya menjadi sarana penyebaran nilai kebajikan justru menjadi arena yang memungkinkan keterlibatan anak dalam interaksi yang tidak seimbang dan berisiko,” ujar Kholisatul Hasanah selaku Ketua PKC KOPRI Jawa Timur hari ini (12/11).
Ia menambahkan bahwa, tindakan yang menempatkan anak sebagai objek konten atau relasi dakwah yang tidak proporsional aktif memperkuat struktur kuasa yang merugikan dan mengabaikan hak perlindungan anak.
Menurut Lisa, fenomena tersebut bukan semata persoalan individu namun, mencerminkan kegagalan sistem perlindungan anak dalam aktivitas keagamaan dan digital.
“Ketika anak-anak menjadi bagian konten dan interaksi tanpa perlindungan yang memadai, maka yang rusak bukan hanya wibawa individu pendakwah, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi dakwah secara luas,” tambahnya.
Dalam pernyataannya, PKC Kopri Jatim menyoroti beberapa persoalan kunci, diantaranya: kurangnya panduan etik bagi lembaga dakwah yang melibatkan anak, lemahnya regulasi perlindungan anak dalam konten digital keagamaan, serta rendahnya literasi sosial terhadap tanda-tanda grooming atau eksploitasi simbolik.
Lisa menegaskan bahwa, norma budaya yang masih enggan membuka pembicaraan soal seksualitas, consent dan relasi kuasa membuat perlindungan anak menjadi rapuh.
Organisasi perempuan yang dipimpinnya pun menyerukan serangkaian tuntutan terhadap pihak-terkait.
Pertama, Kopri Jatim mengecam segala bentuk interaksi dakwah yang menjadikan anak sebagai objek, dan mendesak lembaga keagamaan untuk segera menerapkan kode etik perlindungan anak dalam kegiatan dakwah maupun konten digital.
Kedua, Hasanah meminta aparat hukum dan lembaga negara seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan langkah investigatif dengan melibatkan perlindungan psikologis bagi anak yang terlibat.
Ketiga, masyarakat dan keluarga diimbau untuk proaktif mengenali dan melaporkan praktik grooming atau eksploitasi anak dalam ruang dakwah, pendidikan maupun media sosial.
“Kopri Jatim akan memperkuat program literasi digital dan advokasi hak anak melalui kolaborasi dengan pesantren, kampus, dan komunitas perempuan. Anak-anak bukan sekadar peserta dakwah—mereka adalah manusia yang harus dilindungi martabat, privasi dan tumbuh-kembangnya,” tutup Lisa.
Dengan pernyataan ini, PKC Kopri Jatim menegaskan komitmen terhadap keadilan gender, hak anak dan etika dakwah yang manusiawi.
Peristiwa tersebut dijadikan momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di ruang keagamaan dan konten digital, serta mendorong perubahan budaya dakwah yang lebih inklusif dan aman bagi generasi muda.












