OPINI – Bondowoso, sinar.co.id,- Pelantikan sembilan pejabat pimpinan tinggi pratama, satu pejabat fungsional dan satu pejabat pengawas oleh Bupati Bondowoso pada awal November ini, semestinya menjadi momentum positif bagi penyegaran birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bondowoso.
Namun, di balik seremonial pelantikan 11 pejabat🏷️ yang tampak gagah, tersimpan keputusan yang menimbulkan tanda tanya besar: jabatan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) yang justru paling strategis dan krusial dalam manajemen ASN dibiarkan tetap kosong.
Padahal, BKPSDM saat ini memegang peran vital dalam menyelesaikan rencana seleksi terbuka belasan jabatan pimpinan tinggi pratama yang masih belum terisi.
Waktu yang tersisa sebelum tahun anggaran berakhir sangat sempit, dan beban kerja BKPSDM kian berat. Di tengah tekanan itu, keputusan Bupati untuk menunda penetapan pejabat definitif justru menjadi langkah yang kontraproduktif dan membingungkan publik.
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa, sebenarnya sudah ada calon kuat untuk posisi Kepala BKPSDM namun, rencana pelantikannya dibatalkan tanpa alasan yang jelas.
Langkah ini mengindikasikan bahwa, keputusan Bupati tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan profesional atau kebutuhan organisasi, melainkan dipengaruhi oleh pertimbangan politis yang bersifat subyektif.
Sikap Setengah Hati Bupati Bondowoso
Sikap seperti ini mencerminkan kebijakan setengah hati, di satu sisi ingin menampilkan kesan komitmen terhadap reformasi birokrasi dan sistem merit namun, di sisi lain masih terjebak pada praktik-praktik lama yang tidak transparan.
Ini sekaligus menegaskan lemahnya keberanian kepala daerah dalam menempatkan kepentingan organisasi di atas kalkulasi politik.
Realitas birokrasi Bondowoso tampaknya masih belum mampu keluar dari bayang-bayang pola lama pengisian jabatan yang tidak obyektif.
Alih-alih mempertimbangkan kualifikasi, kompetensi, dan rekam jejak kinerja, pengisian jabatan di Bondowoso masih diwarnai oleh politik balas budi dan bahkan balas dendam politik.
Ini juga terlihat jelas pada pelantikan tujuh pejabat administrator Juli lalu, yang dinilai banyak pihak sarat dengan aroma politis.
Beberapa di antaranya bahkan diketahui merupakan bagian dari kerabat tim sukses dalam kontestasi Pilkada terakhir.
Fenomena ini menunjukkan bahwa, politik balas jasa masih menjadi pertimbangan utama dalam rotasi jabatan, menggusur prinsip objektivitas dan meritokrasi yang seharusnya menjadi fondasi reformasi birokrasi.
Menempatkan pelaksana tugas (Plt) pada posisi Kepala BKPSDM dalam hal ini Anisatul Hamidah yang juga baru saja dilantik sebagai Kepala BP4D🏷️ jelas berpotensi menimbulkan persoalan serius.
Selain beban kerja yang berlipat, posisi Plt, tidak memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan strategis, terutama dalam proses seleksi terbuka jabatan tinggi pratama yang sedang berjalan.
Ketiadaan pejabat definitif akan membuat proses pengisian jabatan berjalan lamban bahkan, berpotensi menimbulkan celah intervensi politik yang lebih besar.
Padahal, BKPSDM seharusnya menjadi benteng terakhir untuk memastikan seluruh proses kepegawaian berlangsung profesional, transparan dan berbasis sistem merit.
Sudah saatnya Bupati Bondowoso menunjukkan keberanian politik untuk keluar dari lingkaran kepentingan sempit dan menempatkan profesionalisme di atas kepentingan politik sesaat.
Mengisi jabatan Kepala BKPSDM dengan figur yang kompeten, berintegritas dan memahami tata kelola kepegawaian modern adalah langkah mendesak yang tidak bisa ditunda.
Publik, terutama kalangan ASN dan pemerhati kebijakan publik, menanti langkah nyata dari Bupati Bondowoso untuk menuntaskan kekosongan jabatan Kepala BKPSDM.
Bila tidak segera diisi, dikhawatirkan seluruh proses seleksi terbuka jabatan di penghujung tahun ini akan terhambat dan menimbulkan persoalan administratif yang kompleks.
Bondowoso tidak boleh terus terjebak dalam politik balas budi yang merusak fondasi profesionalisme birokrasi. Reformasi birokrasi membutuhkan konsistensi, integritas, dan keberanian untuk memutus rantai praktik lama.
Karena pada akhirnya, kebijakan setengah hati hanya akan melahirkan birokrasi yang setengah jalan.
Soal seleksi terbuka bagaimana?, kita akan lihat, apakah tahapan ini akan berlangsung transparan dan adil ataukah hanya sekedar formalitas dan mengakomodir bisikan lingkaran dalam? Kita lihat saja,.
Oleh: Ketua Umum LKBH Merah Putih Bondowoso, Ahroji SH












